Wednesday, August 30, 2006

KOLOM

Pendidikan Kewarganegaraan, berubah dan berubah apa tujuannya??
Oleh Sahid Ali, S. Pd

Pendidikan Kewarganegaraaa di sekolah dari SD sampai dengan SLTA selalu mengalami perubahan. Pada masa Soekarno, pendidikan kewarganegaraan diajarkan dengan nama civic. Pada awal masa Orde Baru berubah menjadi kewargaan negara, dan kemudian berganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang bertahan sampai akhir masa orde baru, kemudian berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Perubahan yang terjadi tidak pada substansi materi tetapi pada nama pelajaran. Penekanan materi terbesar adalah tentang Pancasila. Kemudian pada tahun 2001 seiring bergantinya rezim yang berkuasa PPkn berganti nama menjadi Pendidikan kewarganegaraan dan pada tahun 2002 kembali berubah menjadi Kewarganegaraan tanpa embel-embel pendidikan. Apa yang mendasari perubahan itu? Dari sekelumit prolog diatas kita akan mencoba menelaah menjadi dua hal:
Pertama, pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang selama ini diadakan di Indonesia telah menyimpang dari tujuan mulia pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Entah karena model pendekatan pengajaran yang sifatnya tidak dialogis-partisipatoris, atau karena muatan-muatan politis-ideologis yang dikenakan pada pendidikan kewarganegaraan selama masa Orde Baru (Orba), pendidikan kewarganegaraan dianggap mengalami kegagalan. Dan harga yang harus dibayar karena kegagalan itu amat mahal, antara lain rusaknya moralitas bangsa Indonesia.
Kedua, pendidikan kewarganegaraan yang demokratis-partisipatoris dengan desain materi yang melibatkan para siswa secara aktif dalam proses pendidikan itu. Di sini menyitir pemikiran John Dewey mengenai demokrasi sebagai contoh bagaimana sebuah pendidikan kewarganegaraan seharusnya dipraktikkan. Pendidikan kewarganegaraan selama ini mau tidak mau membawa kita kepada kesimpulan, reformasi pendidikan kewarganegaraan belum terjadi. Karena itu kini saatnya kita melakukan reformasi menyeluruh.
Demi keakuratan data, harus dikatakan, pendidikan kewarganegaraan mulai diajarkan lagi secara formal di sekolah sejak 2001. Semula bidang studi ini bemama Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi sejak tahun 2002 berubah menjadi Kewarganegaraan (Civic). Selama tiga tahun terjadi tiga kali perubahan draf kurikulum. Sangat jelas dari draf kurikulum itu tidak hanya tema-tema seputar demokrasi, civil society, dan HAM , juga tema-tema sentral lain yang sifatnya pengembangan diri (self-fce/p).Tentu saja desain ketiga kurikulum itu amat menekankan model aktif, dialogis-partisipatif. Kurikulum kewarganegaraan kita menyebutnya sebagai model pendekatan belajar kontekstual, di mana partisipasi aktif dan dialogis siswa hanya salah satu unsur dari pendekatan itu. Model pendekatan ini hendak menonjolkan salah satu aspek filsafat pendidikan yang sedang up to date, yakni pendidikan apa pun harus dimulai dari pengalaman siswa. Mirip metode kebidanan Socrates, pengalaman siswa (konteks)-pengalaman hidup bermasyarakat dan bernegara-didialogkan di antara teman-teman dan guru. Materi yang tersaji di buku dan silabus hanya akan menjadi rangkaian pemikiran konseptual (a bundle of thought) yang akan menerangi penggalan-penggalan pengalaman itu.
Pertanyaannya, sejauh mana pendidikan kewarganegaraan yang sudah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun benar-benar berbeda dengan Pendidikan Moral Pancasila, PPKn atau penataran P4. Terlepas dari bagaimana diajarkan di sekolah, rancangan pendidikan kewarganegaraan yang kita miliki kini amat berbeda dari pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila sebelumnya. Seluruh aspek moral Pancasila yang sebelumnya mendominasi praktik pendidikan di Indonesia kini justru didekonstruksi dan "dilucuti" dari pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan yang kini ada, mengadopsi pendekatan multidimensi. Karena itu tilikan moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi beragam (tidak lagi Pancasila sentris). Tentu saja demokrasi dan seluruh aspek yang berhubungan dengannya seperti partisipasi warga negara, peran pers, keadilan dan kepastian hukum, pemilihan umum, dan sebagainya mendapat perhatian istimewa. Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatnya korupsi di kalangan elite bisa menjadi fakta gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu" tidak sepenuhnya benar. Bila mau jujur, pendidikan agama telah mengalami kegagalan. Tapi apakah di situ letak masalahnya?
Cara berpikir filosofis membedakan antara kondisi-kondisi yang niscaya bagi terjadinya sesuatu (necessary condition) dan alasan yang memadai bagi terjadinya sesuatu itu (sufficient reason), kondisi yang memungkinkan terjadinya kemerosotan moral bangsa, tetapi bukan merupakan alasan memadai. Mengingat pengetahuan mengenai yang baik (good) tidak menjamin seseorang pasti berperilaku baik (bermoral), maka tantangannya adalah sejauh mana orang Indonesia menjadi pribadi otentik sebagaimana dipahami Immanuel Kant. Seluruh prinsip moral yang diketahui harus sungguh-sungguh menjadi imperatif kategoris bagi tindakan-tindakan kita karena prinsip-prinsip moral tersebut baik pada dirinya sendiri. Saya kira tepat pemikiran John Dewey mengenai demokrasi sebagai rujukan pentingnya pendidikan yang demokratis dalam pendidikan kewarganegaraan. Meski demikian, mengatakan pemikiran demokratis Dewey, lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok, justru dapat menjadi konsep yang kontradiktif dengan konsep pendidikan kewarganegaraan yang demokratis-partisipatoris. Bagaimana mungkin sebuah pendidikan kewarganegaraan yang dialogis- partisipatoris (demokratis) dapat dipraktikkan bila yang ditonjolkan kepentingan umum (baca: negara)? Menurut Shannon Sullivan (Philosophy Today, vol 41:2, 1997), demokrasi selalu dipahami Dewey sebagai demokrasi pragmatis. Yang ia maksud adalah "a humanistic liberal democracy that has the goal of helping humans find ways to eliminate suffering in their lives" (him 299). Dalam arti itu harus dikatakan, demokrasi memampukan individu untuk secara pragmatis menemukan cara/jalan guna berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi mencapai kehidupan lebih baik dan membahagiakan (pragmatisme mengajarkan, sesuatu itu bernilai kalau ia bermanfaat bagi individu). John Dewey tidak berbicara mengenai pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan individu atau kelompok. Menurut filsuf Amerika ini, individu adalah pribadi (self) yang memiliki perilaku/kebiasaan tertentu (habits) dan dorongan atau kecenderungannya (impulses). Sebagai warga suatu masyarakat atau bangsa, habits dan impulses individu ini belum tentu cocok/sesuai kepentingan masyarakat di mana ia hidup. Karena itu setiap individu (sebagai warga negara) perlu melakukan tawar-menawar antara kepentingan dirinya dengan kepentingan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam tawar-menawar itu individu dapat mengubah kebiasaan dan perilakunya, dengan catatan, dengan melakukan hal itu ia akan mencapai tujuan akhir, yakni to eliminate suffering in one's life, Dewey menyebut proses tawar-menawar ini sebagai rekonstruksi, yakni suatu proses di mana "/ must find a way to change my habits" bukan untuk memasung kepentingan individu demi kepentingan negara, tetapi untuk mencapai growth of individuals, karena "growth of individual leads to growth of the culture which produces even greater growth of individuals, and so on" (Sullivan, hlm 307).
Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, gagasan demokrasi John Dewey hendak menegaskan pentingnya pendidikan kewarganegaraan Indonesia dijalankan sedemikian rupa sehingga memperkuat posisi tawar individu berhadapan dengan kekuatan negara. Inilah tantangan yang hams dijawab kita bersama..

No comments:

Blog Archive

Cendekia Online

My photo
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
Adalah satu tampat sebagai wahana untuk mengembangkan kreatifitas anggota KIR khususnya pada dunia Jurnalistik dimana, blog ini dikemas secara menarik dan informatif ditujukan untuk seuruh civitas akademia SMA Muhammadiyah 3, dan dipublikasikan secara umum untuk dapat dibaca oleh masyarakat umum.